Selasa, 08 Januari 2008

Menuntun Dengan Hati

Mendapatkan hidayah dari Allah jelas merupakan impian setiap hamba perindu surga. Hidayah memang mahal, dan dosa memang dibenci Allah. Namun kesyukuran hidayah bukan bermakna merasa sombong , lebih tinggi, dan lebih alim, untuk kemudian menjadi mudah menghina, memaki, dan merendahkan orang lain. Seolah diksi “penusuk hati” menjadi pilihan halal yang terpuji? Apakah memang hidayah telah mencabut nurani?
Disisi lain, hidayah ini adalah juga sebuah jebakan, jika kita tidak hati-hati. Banyak penyeru dakwah yang kemudian justru tergelincir karena tidak istiqamah. Menepuk air didulang, terpecik muka sendiri. Bukankah tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok pagi? Kita juga belum lupa bahwa kemarin, kita adalah bagian dari mereka.
Hidayah juga sebuah amanah. Risalah rahmah sebagai substansi hidayah, haruslah dibagikan kepada sebanyak mungkin penghuni semesta alam; manusia, hewan, tumbuhan, bahkan benda mati. ciri khas syariat yang menebar rahmat, tentulah bukan hadir sebagai dakwah dengan menebar ketakutan bagi sesama, kecuali atas alasan yang benar. Bukan yang dianggap benar karena merasa benar.
Ia haruslah berupa air penawar dahaga dan bukan api pengobar dengki. Ia serupa tongkat penuntun sebab banyak yang buta, sedang jalan begitu terjalnya. Menentramkan dan bukan menggelisahkan. Membangun dan bukan merobohkan. bersikap lemah lembut dalam dakwah adalah pilihan terbaik selama bukan dengan prinsip yang berubah atau membuat syariat bid'ah. Sebab syariat ini kuat dan berat, hingga harus dibawa dengan kelembutan agar manusia yakin bahwa ia sebenarnya mudah. Agar mereka tahu bahwa menolaknya adalah kebodohan dan kerugian.
Bukankah kelembutan itu adalah perhiasan, dan kehilangan adalah kekotoran? Sedang jiwa manusia pastinya lebih tertarik kepada manusia yang berbuat baik dan lemah lembut kepadanya, dan membenci yang menyakiti dirinya dan kasar dalam berkata-kata. Lemah lembut akan menjaga pemiliknya dari berbagai fitnah dan marah. Ia akan menjadi sebab datangnya kemenangan, insya Allah. Kecuali kita memang 'sakit'. Sehingga kekerasan ini hakikatnya adalah ekspresi kotornya hati dan upaya menutupi kekurangan diri.
Hati yang bersih, ruhiyah yang kuat, serta kemampuan melihat dari sudut pandang tertuduh, akan menghasilkan padu padan yang cantik. Bahwa kita memang harus menuntun dengan hati.
Mari kita memohon kepada Sang Rahman agar menghiasi akhlak kita dengan kelembutan, sebab Dia-lah sumber mata air kelembutan yang takkan pernah kering, meski kemarau panjang meranggas hutan jati seluruh negeri. Sungguh, lemah lembutnya sikap adalah anugrah dari langit! Wallahua'alam. (Abu Safana/Ar-Risalah)

Tidak ada komentar: